Jakarta (Berita): DPR mendesak pemerintah membatalkan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina, yakni Free Trade Agreement pada 1 Januari 2010. Alasannya, jika pemerintah tetap menandatangani perjanjian itu, dikhawatirkan 10 sektor nasional Indonesia dipastikan akan kalah bersaing dengan produk-produk impor yang diberi pembebasan pajak impor.
Jika sampai pemerintah ikut menandatangani FTA, antara ASEAN-China maka yang terjadi kita tinggal menunggu waktu, 10 sektor industri itu akan mati secara perlahan, ujar Wakil Ketua Komisi VI DPR, Aria Bima, dalam diskusi bertajuk Menyoal Free Trade Area ASEAN-China, di gedung DPR, Senayan, Rabu [02/12] . Aria mengemukakan, 10 sektor industri nasional yang akan gulung tikar adalah tekstil, makanan dan minuman, petrokimia, peralatan pertanian, alas kaki, fiber sintetik, elektronik (kabel, perlatan listrik), permesinan, jasa engineering dan sektor-sektor lain yang terkena dampak, serta besi baja. Menurut dia, jika hal ini sampai terjadi, maka program prioritas pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terutama dalam memberantas kemiskinan dan pengangguran tidak akan berhasil. Industri nasional akan semakin sulit dan berdampak terhadap defisit perdagangan. Artinya pengangguran akan semakin meningkat, tandas politisi dari PDI Perjuangan itu. Anda mungkin tidak mempertimbangkan segala sesuatu yang baru saja Anda baca untuk menjadi informasi penting tentang berita. Tapi jangan kaget jika Anda menemukan diri Anda sendiri mengingat dan menggunakan informasi ini dalam beberapa hari mendatang.
Komisi VI DPR, imbuh dia, sudah menegaskan kepada Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan agar menunda penandatanganan FTA ASEAN-China yang lebih banyak memberikan dampak negatif kepada industri nasional Indonesia. Pemerintah diminta untuk mempelajari lebih dalam isi perjanjian FTA dan mempelajari dampak sosial yang akan terjadi jika pemerintah menandatangani perjanjian FTA. Kalau pemerintah pro rakyat, saya pikir pemerintah tidak akan menandatangani FTA, tegas Aria. Mestinya, lanjut Aria, pemerintah Indonesia harus meniru Malaysia. Dikatakannya, Malaysia memberlakukan pajak impor sekitar 25 persen terhadap produk-produk impor untuk melindungi produk industri dalam negeri mereka. Anehnya, pemerintah Indonesia memberlakukan pajak impor hanya lima persen saja sudah membuat produk industri nasional kesulitan bersaing dengan produk-produk impor terutama dari China. Hal senada disampaikan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tekstil Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, jika pemerintah tetap menandatangani perjanjian FTA maka industri tekstil akan menjadi pecundang utama di negeri sendiri. Pada saat pemerintah masih memberlakukan pajak impor lima persen, industri tekstil sudah mengalami defisit sejak 2007 dan terus meningkat, kata Ade. Ade meminta pemerintah untuk renegosiasi perjanjian FTA ASEAN-China. Setidaknya sampai dengan 2014, pemerintah bisa berbenah diri dalam masalah energi, transportasi, kepelabuanan dan lain-lain agar bisa melayani dengan lebih cepat selama 24 jam seperti Malaysia. Nanti, seluruh sektor tekstil kita hanya jadi pecundang utama, karena kalah di semua sektor dan kita mengalami defisit hingga 1 miliar dollar AS, ujar dia. Sedangkan Purnomo Widodo dari Asosiasi Industri dan Baja menilai, bila penerapan ACFTA ini dipaksakan, kata Purnomo, maka akan berakibat membanjirnya produk impor China yang akan menghancurkan industri baja nasional dan terjadi PHK besar-besaran. Padahal, kesiapan industri domestik merupakan acuan utama dalam pembukaan kanal perdagangan
bebas. Kalau acuan itu diabaikan, maka akan terjadi kenaikan pengangguran dan matinya industri Indonesia, katanya. (iws)
Jika sampai pemerintah ikut menandatangani FTA, antara ASEAN-China maka yang terjadi kita tinggal menunggu waktu, 10 sektor industri itu akan mati secara perlahan, ujar Wakil Ketua Komisi VI DPR, Aria Bima, dalam diskusi bertajuk Menyoal Free Trade Area ASEAN-China, di gedung DPR, Senayan, Rabu [02/12] . Aria mengemukakan, 10 sektor industri nasional yang akan gulung tikar adalah tekstil, makanan dan minuman, petrokimia, peralatan pertanian, alas kaki, fiber sintetik, elektronik (kabel, perlatan listrik), permesinan, jasa engineering dan sektor-sektor lain yang terkena dampak, serta besi baja. Menurut dia, jika hal ini sampai terjadi, maka program prioritas pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terutama dalam memberantas kemiskinan dan pengangguran tidak akan berhasil. Industri nasional akan semakin sulit dan berdampak terhadap defisit perdagangan. Artinya pengangguran akan semakin meningkat, tandas politisi dari PDI Perjuangan itu. Anda mungkin tidak mempertimbangkan segala sesuatu yang baru saja Anda baca untuk menjadi informasi penting tentang berita. Tapi jangan kaget jika Anda menemukan diri Anda sendiri mengingat dan menggunakan informasi ini dalam beberapa hari mendatang.
Komisi VI DPR, imbuh dia, sudah menegaskan kepada Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan agar menunda penandatanganan FTA ASEAN-China yang lebih banyak memberikan dampak negatif kepada industri nasional Indonesia. Pemerintah diminta untuk mempelajari lebih dalam isi perjanjian FTA dan mempelajari dampak sosial yang akan terjadi jika pemerintah menandatangani perjanjian FTA. Kalau pemerintah pro rakyat, saya pikir pemerintah tidak akan menandatangani FTA, tegas Aria. Mestinya, lanjut Aria, pemerintah Indonesia harus meniru Malaysia. Dikatakannya, Malaysia memberlakukan pajak impor sekitar 25 persen terhadap produk-produk impor untuk melindungi produk industri dalam negeri mereka. Anehnya, pemerintah Indonesia memberlakukan pajak impor hanya lima persen saja sudah membuat produk industri nasional kesulitan bersaing dengan produk-produk impor terutama dari China. Hal senada disampaikan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tekstil Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, jika pemerintah tetap menandatangani perjanjian FTA maka industri tekstil akan menjadi pecundang utama di negeri sendiri. Pada saat pemerintah masih memberlakukan pajak impor lima persen, industri tekstil sudah mengalami defisit sejak 2007 dan terus meningkat, kata Ade. Ade meminta pemerintah untuk renegosiasi perjanjian FTA ASEAN-China. Setidaknya sampai dengan 2014, pemerintah bisa berbenah diri dalam masalah energi, transportasi, kepelabuanan dan lain-lain agar bisa melayani dengan lebih cepat selama 24 jam seperti Malaysia. Nanti, seluruh sektor tekstil kita hanya jadi pecundang utama, karena kalah di semua sektor dan kita mengalami defisit hingga 1 miliar dollar AS, ujar dia. Sedangkan Purnomo Widodo dari Asosiasi Industri dan Baja menilai, bila penerapan ACFTA ini dipaksakan, kata Purnomo, maka akan berakibat membanjirnya produk impor China yang akan menghancurkan industri baja nasional dan terjadi PHK besar-besaran. Padahal, kesiapan industri domestik merupakan acuan utama dalam pembukaan kanal perdagangan
bebas. Kalau acuan itu diabaikan, maka akan terjadi kenaikan pengangguran dan matinya industri Indonesia, katanya. (iws)
No comments:
Post a Comment